Saturday, June 25, 2016

Peran Bahasa Jawa Sebagai Pembentuk Budi Pekerti


Peran Bahasa Jawa Sebagai Pembentuk Budi Pekerti

Bahasa jawa merupkan salah satu bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari antara seseorang dan orang lain dalam masyarakat Jawa. Untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi masyarakat harus senantiasa berhati-hati, perilaku demikian memiliki tujuan untuk menghormati orang yang di ajak berbicara agar tidak merasa terganggu atau tersinggung. Untuk memenuhi hal tersebut maka disusunlah ujaran yang sedemikian rupa dan dapat disertai sikap tertentu sehingga menampakkan sikap hormat kepada orang yang di ajak bicara.

Ujaran yang dapat mencerminkan rasa hormat terhadap orang lain berupa ujaran yang memperlihatkan tingkat tutur atau tata krama. Pemakaian kosa kata yang memperhatikan tingkat tutur dalam berkomunikasi merupakan ungkapan rasa hormat penutur kepada orang lain. Dapat dikatakan penggunaaan bahasa Jawa ialah sebagai sarana komunikasi harus disesuaikan dengan etika dan tantanan moral yang berlaku.
 
Bahasa Jawa bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat pembentuk budi pekerti, dengan pengertian bahwa budi pekerti merupakan bagian dari peradaban tinggi. Bahasa Jawa merupakan salah satu bukti bahasa sebagai peradaban tinggi, sebab tata krama merupakan salahh satu realisasi prinsip rukun dan hormat. Prinsip tersebut merupakan suatu kesatuan yang menjadi suatu landasan normatif bagi pelaku berbahasa masyarakat Jawa.

Istilah yang mengatakan bahwa “bahasa menunjukan bangsa’ juga berlaku untuk Bahasa Jawa yang dapat digunakan sebagai identitas dan jati diri masyarakat Jawa. Di Bahasa Jawa terkandung banyak nilai etika dan moral lelulur yang berupa norma-norma pemakaian. Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antar warga mengandung ungkapan-ungkapan Bahasa Jawa yang memuat nilai tertentu.

Norma pemakaian bahasa Jawa yang mengandung nilai etika dan moral tercermin pada tingkat tutur warga masyarakat. Kita kenal pada dasarnya tingkat tutur Bahasa Jawa hanya ada dua, yakni ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko ini merupakan ragam yang biasanya digunakan  untuk berkomunikasi antara orang sudah akrab satu sama lain atau hanya dapat digunakan oleh orang yang berstatus rendah. Ragam ngoko tidak layak digunakan sebagai alat komunikasi dengan orang yang memiliki status atau kedudukan tinggi. Jika dilakukan, berarti telah bertentangan dengan norma pemakaian bahasa Jawa karena menunjukkan suatu ketidakhormatan pada orang yang memiliki status yang lebih tinggi. Hal ini sangat bertentangan dengan landasan dan prinsip etika dan moral.

Sementara yang disebut ragam krama adalah ragam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang belum saling mengenal atau akrab, biasanya ragam ini digunakan oleh seseorang yang merasa status sosialnya lebih rendah atau orang yang lebih muda menghargai orang yang lebih tua. Masyarakat Jawa juga memiliki falsafah yang menyatakan bahwa tutur kata seseorang merupakan cerminan hati. Ini berarti apa yang terkandung dalam hatinya dapat dilihat dari apa yang terlahir dari tutur katanya. 

Ungkapan masyarakat Jawa lainnya antara lain ajining dhiri ing pucuking lati (nilai diri ada di ujung bibir). Ungkapan tersebut memiliki arti bahwa kehormatan seseorang tergantung pada tutur kata orang yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui ungkapan tersebut, kita juga harus lebih hati-hati saat ingin berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan orang yang lebih tua, orang memiliki status dan jabatan yang lebih tinggi agar tidak sampai menyakiti orang yang mereka ajak berkomunikasi.

No comments:

Post a Comment